MULTIKULTURAL

PANDANGAN KONTRADIKTIF TERHADAP

PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL

(TELAAH PEMIKIRAN ADIAN HUSAINI)

A. Pendahuluan

Maha Agung Allah, yang telah menciptakan alam semesta dengan bentuk keanekaragamannya. Begitu pula dengan penciptaan manusia yang terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa dengan diperkaya oleh keragaman budayanya. Sehingga hal tersebut telah menjadi sebuah komitmen dan konsekuensi yang harus dijalani dan sekaligus menjadi fitrah dari sebuah penciptaan.

Dengan membuka jalan kesadaran itulah, dan berdasar pada sebuah ayat yang telah difirmankan agar manusia dapat saling mengenal antara suku-suku dan bangsa-bangsa yang beranekaragam[1], maka telah menjadi tugas daripada manusia agar dapat menciptakan kedamaian dalam kehidupannya sebagai tugas kekhalifahan dimuka bumi, dan bukanlah sebaliknya dengan menciptakan pertikaian dan anarkhisme yang menyebabkan pertumpahan darah dan berbagai bentuk kerusakan.[2]

Sungguh alangkah mulianya misi Islam demi kelangsungan hidup sosial bermasyarakat bagi manusia. Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan yang telah dianugrahkan Allah tersebut, tidak diemban secara utuh dalam pola kehidupan. Perbedaan suku, bangsa, etnik, budaya, dan kepercayaan terkadang menjadikan polemik besar dan sumber berbagai macam perselisihan, pertikaian bahkan anarkhisme. Bukan hanya dipengaruhi dari perbedaan yang bersifat eksternal, bahkan perselisihan yang hampir-hampir tiada akhir justru timbul dari perbedaan yang bersifat internal.

Berdasarkan pada pandangan diatas, banyak para pemikir yang berusaha mengungkapkan berbagai teori dan konsep, demi memberikan jembatan penghubung yang dapat meminimalisir berbagai kasus perselisihan antar keberagaman manusia. Yang salah satu konsep tersebut adalah ditanamkannya multikulturalisme melalui jalur pendidikan sedini mungkin, yang bertujuan untuk memberikan paham terhadap arti perbedaan dan kemajemukan, untuk terciptanya kedamaian dan keharmonisan dalam perilaku sosial kemanusiaan sehingga dapat mencapai pola kehidupan yang lebih transendental dalam menjalankan tugas kemanusiaannya.[3]

Akan tetapi dengan bergulirnya ide dan konsep multikulturalisme tersebut, tidak terlepas pula dari aksi pro dan kontra terhadapnya. Adapun berbagai macam pandangan kontradiktif pada terwujudnya pendidikan berwawasan multikultural kurang lebihnya disebabkan karena perbedaan cara pandang dan persepsi yang berakar pada konsep ‘kebenaran’ yang dianggap mutlak, terutama yang berkenaan dengan keyakinan dan cara beragama pada diri seseorang. Oleh sebab itulah penulis mengangkat permasalahan kontradiksi atas digulirkannya konsep multikulturalisme di dunia pendidikan Islam, dan akan lebih menyoroti pada pandangan Adian Husaini yang banyak menyuarakan penolakan melalui karya-karyanya.

B. Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural

Pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan, ada kalanya pendidikan selalu tidak pernah memuaskan, bahkan pendidikan selalu menjadi bahan perdebatan. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan masalah bersama, semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Hal lain yang menjadi penyebab bahwa pendidikan adalah masalah yang tiada akhir, antara lain pertama, fitrah manusia yang selalu menginginkan yang lebih baik, kedua, teori pendidikan pada umumnya selalu ketinggalan dengan kebutuhan masyarakat, karena dengan berubahnya waktu dan perkembangan zaman telah menuntut perubahan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat, ketiga, karena pengaruh pandangan hidup, yang selalu berubah dengan cara pandang dan pola pikir baru yang berkembang.[4]

Demikian pula dengan pendidikan Islam yang selalu dituntut untuk berkembang seiring dengan perkembangan manusia dan dunia. Terlebih lagi ketika dihadapkan pada situasi sosial kemasyarakatan, dengan berbagai fenomena yang ada dan harus dilakukan pengamatan yang jeli. Di sisi lain pendidikan Islam yang dilaksanakan berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an, al-sunnah, pendapat ulama dan historiositas Islam yang dipertimbangkan dengan pertimbangan rasional dan empiris.[5]

Dengan demikian tentunya pendidikan Islam pun telah memiliki visi kedepan dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman. Visi tersebut oleh Abudin Nata disebut sebagai visi etis yang mencakup toleransi, solidaritas, persatuan, egalitarianisme, penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia, kebebasan, penegakan supremasi hukum, dan keadilan serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip-prinsip visi etis dalam kehidupan bermasyarakat tersebut sangat ditekankan dalam wacana pembentukan masyarakat madani untuk membangun tatanan kehidupan yang demokratis dalam bingkai kehidupan masyarakat yang pluralistik. Dan hal ini juga merupakan cerminan dari pola kehidupan yang telah diajarkan Rasulullah sehingga disepakatinya piagam madinah pada masa awal berkembangnya Islam.[6]

Berdasarkan pada hal itulah sekiranya pendidikan Islam yang berwawasan multikultural menjadi sangat urgen untuk dibicarakan. Sebab jika pendidikan Islam dengan rumusan tujuan pendidikan yang hanya mencerminkan nilai agama dan tauhid semata, maka makna fungsional dan rumusan tersebut perlu dikaji ulang sehingga dapat berkembang menjadi lebih substantif.[7] Pernyataan tersebut diperkuat pula oleh pendapat Azumardi Azra, bahwa manusia tidak akan mampu menciptakan masyarakat yang tunggal, homogen, dan monolitik. Sebab perbedaan dan keragaman tersebut sudah menjadi sunnatullah.[8]

Dari pernyataan diatas, pendidikan Islam telah menemui konsekuensi logis terhadap makna perbedaan dan keberagaman dalam kehidupan sosial humanistik. Sehingga pendidikan Islam dengan wawasan multikultural akan memperluas wacana pemikiran peserta didik agar tidak terbenan dalam fanatisme dan mempertahankan ego keagamaannya, kebudayaannya, kesukuannya dan lain sebagainya.

Terdapat beberapa prinsip pokok yang perlu dikemukakan sebelum memperbincangkan tentang pendidikan Islam berwawasan  multikultural adalah :

1.      Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, atau etnis tertentu melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamien.

2.      Islam menghargai agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksanaan dalam beragama.

3.      Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya.

4.      Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu agar terjadi saling mengenal.

5.      Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah sendiri tatkala membangun masyarakat madani di madinah. Prinsip-prinsip dasar sperti ini perlu dijadikan rujukan dalam memperbincangkan pendidikan multikultual.[9]

Atas dasar beberapa prinsip tersebut di atas maka sesungguhnya Islam sendiri memberikan ruang yang seluas-luasnya pada pendidikan multikultural. Bahwa perbedaan-perbedaan itu justru telah dijelaskan sendiri oleh al Qur’an. Oleh karena itu tidak selayaknya ditutup-tutupi, apalagi diingkari. Sebagai ajaran yang terbuka, juga tidak selayaknya para umatnya memiliki rasa takut untuk terpengaruh dari ajaran lain. Ketakutan dapat dimaknai sebagai penyandang mental kalah yang seharusnya tidak dikembangkan oleh umat Islam. Atas dasar keyakinan yang kukuh, maka Islam memberikan kebebasan umatnya bergaul secara bebas dan terbuka dalam pentas pergaulan umat manusia sejagat. Oleh karena itu konsep pendidikan agama multikultural bukan harus dijauhi melainkan harus dihadapi secara obyektif dan penuh percaya diri.

Pendidikan Islam berwawasan multikultural selain memperkukuh tauhid atau dasar-dasar keyakinan Islam maka perlu pula dikembangkan prinsip-prinsip dasar pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran Islam secara lebih mendalam. Bagaimana di tengah-tengah perbedaan di antara sesama manusia sesungguhnya Islam mengajarkan konsep (1) kasih sayang antar sesama, (2) saling mengenal, (3) saling menghargai, (4) saling tolong menolong. Islam melarang merendahkan orang lain, bermusuh-musuhan, apalagi saling membinasakan. Membuat kerusakan di muka bumi, apalagi menghilangkan nyawa dengan alasan yang tidak benar menurut pandangan Islam merupakan dosa besar. Konsep Islam tentang tata pergaulan seperti ini mesti dikedepankan dalam pendidikan agama.[10]

Di lingkungan kita, konsep pendidikan agama multikultual ini masih tergolong baru. Walaupun sesungguhnya dalam tataran doktrin yang bersumber dari ajaran Islam, al Qur’an dan hadits, sudah sejak diturunkan ajaran ini sudah diperkenalkan. Hanya saja, oleh karena gejala hidup multikultural di Indonesia, masih merupakan gejala baru maka perlu pengenalan melalui diskusi, tukar pendapat dan bahkan juga melakukan studi banding ke tempat-tempat yang fenomena itu sudah berjalan lebih lama. Pro dan kontra selalu akan terjadi, sebab hal yang demikian sudah menjadi kelaziman tatkala hal-hal baru diperkenalkan atau terjadi secara tiba-tiba.

Cara-cara yang dilakukan sebagian masyarakat untuk melakukan proteksi berlebihan, sehingga menjadikan miskin informasi tentang dunia luar, justru akan membahayakan. Dalam beragama, bahwa meyakini hanya agamanya sendirilah yang paling benar adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, semestinya keyakinan seperti itu tidak harus merendahkan agama apalagi orang yang memeluk agama lain. Yang dipentingkan adalah bahwa pengakuan membenarkan agama sendiri dibekali oleh tanggung jawab, baik bersumber hal itu bersumber kitab suci atau alasan-alasan lainnya ang dapat dibangunnya. Berangkat dari pandangan ini maka dapat terhindar dari sikap keberagamaan yang hanya bersifat ikut-ikutan. Islam sendiri membawa umatnya agar beragama secara sungguh-sungguh atau kaffah. Artinya, dalam beragama Islam tidak menghendaki dilakukan secara setengah-setengah, tidak ke sana dan juga tidak kemari.

Klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap pengikutnya. Selain itu, agama juga mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki keterikatan diri terhadap ajaran agamanya, memiliki dedikasi dan bahkan berjuang serta berkorban untuk agamanya jika memang diperlukan. Akan tetapi, klaim kebenaran tersebut seharusnya tidak dipahami secara mentah-mentah dan emosional, dan harus disadari bahwa kehidupan manusia selalu diwarnai dengan perubahan-perubahan, ketidakstabilan dan ketidakmenentuan.[11]

C. Biografi Singkat Adian Husaini

Adian Husaini adalah seorang tokoh yang telah mendapatkan gelar doktor pada bidang Peradaban Islam di International Islamic University Malaysia, dengan judul desertasinya “Exclusivism an Evangelism in the second Vatican Council : a Critical Reading of The Second Vatican Council’s Documents in The Light of The Ad Gentes and The Nostra Aetate”.[12]

Tokoh yang lebih dikenal oleh para penggemarnya dengan sebutan Akhi Adian ini, dilahirkan di Bojonegoro Jawa Timur pada 17 Desember 1965. Dalam perjalanan akademiknya ia telah mengenyam pendidikan agama Islam di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro, Pondok Pesantren ar-Rasyid Kendal Bojonegoro, Masjid al-Ghifari IPB Bogor, dan Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor. Adian pun menyelesaikan studi kesarjanaannya di Fakultas kedokteran hewan IPB Bogor, dan pascasarjana di Universitas Jayabaya pada jurusan Hubungan Internasional.

Aktivitasnya saat ini antara lain sebagai dosen di Program Pascasarjana Program Studi Timur Tengah dan Islam di Universitas Indonesia Jakarta, serta dosen Program Pascasarjana di Universitas Ibnu Khuldun Bogor dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Selain di dunia akademik Adian juga menjabat sebagai ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) serta sebagai penulis tetap Catatan Akhir Pekan pada www.hidayatullah.com, dan pengisi acara di radio Dakta 107 FM.

Sudah lebih dari 25 judul buku telah ia terbitkan, yang diantaranya : Wajah Peradaban Barat, Dari Hegomoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), yang telah mendapatkan penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non-fiksi dalam Islamic Book Fair di Jakarta tahun 2006. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen dan Islam, Virus Liberalisme di Perguruan tinggi Islam, dan lain sebagainya.

Dalam buku-buku karyanya Adian banyak menyoroti berbagai pemikiran para tokoh lain yang mengangkat masalah pluralisme, liberalisme dan multikulturalisme.

D. Multikulturalisme Sebagai Virus di Dunia Pendidikan Islam

Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”. Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru.[13] Berawal dari definisi inilah, penulis akan memulai untuk menguraikan beberapa hal yang pandangan kontradiktif dari seorang Adian Husaini atas multikulturalisme.

Dalam bukunya Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, ia mengawalinya dengan ungkapan bahwa setelah diadakannya pengamatan dan penelitian dikalangan mahasiswa dan aktivis mahasiswa, kebanyakan dari mereka merasa ‘setuju’ dengan pernyataan : “manusia adalah makhluk yang relatif, sedangkan Tuhan adalah Yang Maha Mutlak. Karena itu, setiap pendapat yang berasal dari manusia adalah bersifat relatif sehingga tidak boleh memutlakkan pendapatnya. Jadi, hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki, manusia tidak tahu pastisuatu kebenaran sehingga tidak boleh merasa benar sendiri dan menghakimi orang lain sebagai sesat atau kafir. Masalah sesat atau kafir adalah urusan Tuhan dan serahkan saja kepada-Nya, tidaklah patut manusia menempatkan diri sebagai Tuhan”. Begitu pula ketika terdapat pernyataan : “Perkembangan Islam yang pesat di negara-negara Barat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang Universal dan juga merupakan indikasi bahwa sudah saatnya umat manusia berfikir lintas agama serta tidak berfikiran sempit dengan meyakini kebenaran agamanya”. Dengan penyetujuan atas dua pernyataan diatas telah menunjukkan adanya faham relativisme yang beredar dikalangan akademisi muslim. Dan ini merupakan virus ganas yang akan melumpuhkan sendi keyakinan seseorang terhadap agamanya. Sebab ‘Iman’ mensyaratkan satu keyakinan, dan ketiadaan keraguan terhadap perkara-perkara yang wajib diimani.[14]

Karena itu, perlu berhati-hati dengan pernyataan bahwa manusia hanya memahami kebenaran relatif. Sebab Allah swt., menganugerahkan akal manusia untuk berfikir dan untuk sampai pada derajat keyakinan yang tentu pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulah dapat memahami mana yang benar dan mana yang salah, mana yang iman dan mana yang kufur, mana tauhid dan mana yang syirik, dan lain sebagainya. Dengan keyakinan itulah manusia bergerak untuk memperjuangkan yang haq dan melawan yang bathil. Dan dengan keyakinan itu pula manusia dihantarkan pada kekhusyu’an dan kenikmatan ibadah serta kebahagiaan yang sejati. Sikap skeptis dan relativistik terhadap kebenaran merupakan hal yang harus dijauhi oleh setiap muslim, karena akan menggerogoti sendi akidah ke-Islamannya.[15]

Adapun tanggapannya atas tulisan Azyumardi Azra, tentang “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, Adian memberikan sorotan tajam atas pendefinisian ‘Pendidikan Multukultural’ sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.” Dalam pandangannya buku ini penting untuk dicermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat.[16]

Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya. Mengenai makna ”Multikulturalisme” dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena — salah satunya — disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat. Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama dan kepercayaan di luar agamanya. Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama – jika masih berpegang pada keyakinan agamanya – pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama.[17]

Jika dicermati lebih lanjut, maka faham multikulturalisme yang disebarkan di tengah-tengah umat Islam akan mengarah pada konsep humanisme sekuler dan persatuan kemanusiaan.konsep persatuan tanpa diskriminasi agama inilah yang menjadi ide pokok digulirkannya faham tersebut. Sedangkan Islam secara tegas dan jelas menyeru pada tauhid bukan kepada multikulturalisme.

Dengan banyak beredarnya buku-buku yang mengangkat pendidikan agama berwawasan multikultural akan jelas merusak aqidah Islam. Dan agar memiliki daya rusak yang tinggi maka digunakanlah salah satu aspek strategis yakni ‘pendidikan Agama’. Dan buku-buku jenis ini secara jelas menyebarkan ‘faham syirik’ pluralisme agama. Seperti halnya yang diungkapkan Zakiyudin Baidhawi bahwa “semua agama adalah sebuah totalitas sosiokultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikularyang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.”[18]

”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam, itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhala baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.[19]

Alasan lain yang mendasari penolakan Adian Husaini akan multikulturalisme adalah fatwa MUI yang menjelaskan: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Karena itu, “paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya.”[20]

Selain pengembangan multikulturalisme yang telah ditunggangi oleh pluralisme agama di dunia pendidikan Islam, terutama di Perguruan Tinggi Islam, wawasan multikulturalisme juga membawa sistem penafsiran terhadap al-Qur’an dan Sunnah dengan mengedepankan metode hermeneutika. Metode ini telah memberikan pengaruh besar atas konsep penafsiran yang menurut penganutnya disebut sebagai kontemporer. Hal ini sebenarnya juga pernah terjadi pada metode penafsiran al-kitab, yang mana kaum feminis mengembangkan metode ini dalam penafsirannya dikalangan Kristen. Yang mana hermeneutika feminis ini berprinsip pada :

1.      Semua kritik feminis menempatkan kepentingan ekstrim terhadap kesadaran feminis, termasuk didalamnya pengalaman unik sebagai suatu cara memahami kitab suci. Kesadaran mendalam adalah tentang kesamaan dan keseimbangan, serta tuntutan memperlakukan wanita sama dengan pria.

2.      Semua wanita adalah manusia seutuhnya.

3.      Karena wanita telah menemukan penafsiran tradisional mengenai identitas mereka dengan teratur bertentangan dengan kesadaran identitas mereka dan pengalaman sendiri, kriteria dasar untuk menghakimi wanita adalah pengalaman wanita itu sendiri.[21]

Dan berdasar pada prinsip tersebut, kalangan muslim melakukan penjiplakan secara sadar terhadap metode penafsiran. Seharusnya mereka mempertimbangkan perbedaan teks al-Qur’an dan teks Bibel,[22] sehingga tidak terjebak kedalam pra-pemahaman subjektif dari konsep sekuler-liberal yang jelas bukan produk peradaban Islam.[23] Jadi jelas bahwa tradisi hermeneutika pada Bibel tidak dapat diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an.

Dikarenakan tidak cermat atau tidak memahami hakikat perbedaan konteks teks al-Qur’an dan Bibel, banyak yang keliru menerapkan istilah ‘tekstual’ dan ‘kontekstual’. Yang mana istilah itu akhirnya dikaitkan dengan ‘fundamentalis’, ‘ekslusif’, ‘inklusif’, ‘pluralis’ dan lain sebagainya. Sehingga berkembang pada penyebutan terhadap muslim lain yang menerapkan metode literal dalam penafsiran al-Qur’an disebut dengan fundamentalis, radikal, militan, dan lain sebagainya. Bahkan wacana itu pun dikaitkan dengan terorisme sebagai kesalahan dan kerancuan penggunaan terminologi, sehingga berakibat fatal pada perumusan kebijakan sosial-politik, dimana seorang muslim yang taat menjalankan agama dan syariatnya dituduh sebagai kaum radikal bahkan teroris.[24]

E. Penutup

Pendidikan Islam berwawasan multikultural menurut mempunyai urgensi yang sangat diperlukan dalam pengembangan pendidikan Islam dewasa ini, terlebih lagi jika memperhatikan tujuannya yang sungguh relevan dan memiliki arti positif dalam membentuk generasi yang cinta damai dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi, dengan keluhuran cita-citanya itu, masih menuai kontradiksi dikalangan para pemikir, yang salah satunya adalah Adian Husaini. Dari beberapa kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Adian memberikan penolakan jika multikulturalisme akan menggeser kualitas keimanan seseorang, dengan adanya pluralitas agama. Ia berpendapat bahwa antara ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang lain tidak dapat dicampuradukan sehingga memunculkan skeptisme bagi penganutnya, ataupun stereotip keimanan dan kepercayaannya.

Penolakannya juga mengarah pada metodologi penafsiran al-Qur’an dengan metode kontemporer yang dikenal sebagai hermeneutika. Dengan alasan bahwa tidak mungkin bagi manusia mencampuri kehendak Tuhan penciptanya, dimana al-Qur’an merupakan firman yang ketentuan dan kebenarannya adalah mutlak, sehingga pola penafsirannya pun tidak dapat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Bahkan dengan adanya hermeneutika, telah memunculkan permasalahan baru dikalangan umat Islam sendiri sehingga terjadi perpecahan dan perselisihan yang saling menyalahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural (Jakarta : Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005)

Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005),

Adian Husaini, dalam catatan akhir pekan, diakses pada 18 November 2010 pada situs http://meisusilo.wordpress.com/page/257/?pages-list

Adian Husaini, Di Balik Belajar Multikulturalisme dari Pesantren, http://sekolahku.info/2010/01/di-balik-belajar-multikulturalisme-dari-pesantren/

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Depok : Gema Insani Press, 2006)

Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (Depok : Gema Insani Press, 2009)

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam : integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan ManusiaI (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006)

Azyumardi Azra, Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam (Bandung : Nuansa, 2005)

Beranda New

http://sekolahku.info/2009/11/jangan-memberhalakan-%E2%80%9Dmultikulturalisme% E2%80%9D/

http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 448%3A23-05-2008&catid=25%3Aartikel-rektor&Itemid=168

http://vivixtopz.wordpress.com/artikel-islam/pesantren-modern-dan-pendidikan-multikulturalisme/

http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=category&id=1

Louis Berkhof, a Summary of Christian Doctrine (London : The Banner of Truth Trust, 1978

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2006)

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008)

Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta : Erlangga, 2007)


[1] Lihat, QS. Al-Hujurat : 13

[2] Lihat, QS. Al-Baqarah : 30

[3] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 30

[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam : integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan ManusiaI (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 40-42

[5] Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 29.

[6] Ibid, hlm. 36.

[7] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural (Jakarta : Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), hlm. 182.

[8] Azyumardi Azra, Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam (Bandung : Nuansa, 2005), hlm. 150.

[10] Ibid,…

[11] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2006), hlm. 137.

[14] Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (Depok : Gema Insani Press, 2009), hlm. 9-10.

[15] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Depok : Gema Insani Press, 2006), hlm. 206.

[16] Adian Husaini, Virus Liberalisme…., hlm. 192.

[17] Adian Husaini, dalam catatan akhir pekan, diakses pada 18 November 2010 pada situs http://meisusilo.wordpress.com/page/257/?pages-list

[18] Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta : Erlangga, 2007), hlm. 50.

[20] Adian Husaini, Di Balik Belajar Multikulturalisme dari Pesantren, http://sekolahku.info/2010/01/di-balik-belajar-multikulturalisme-dari-pesantren/ diakses pada 15 November 2010.

[21] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat …., hlm. 263.

[22] Dimana otentisitas dari kedua teks tersebut jelas berbeda. Kaum muslim dalam sepanjang sejarah tidak pernah mempersoalkan otentisitas teks al-Qur’an, dengan dengan yakin meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar –lafdhan wa ma’nan– dari Allah swt. Berbeda dengan Bibel the new testament, di tulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-40 tahun masa Jesus. Dan dalam Bibel disebutkan “firman Allah yang tertulis” dan “kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah”. Sehingga kalimat “inspirasi” merupakan kalimat masih menjadi persoalan akan otentisitasnya. Lihat Louis Berkhof, a Summary of Christian Doctrine (London : The Banner of Truth Trust, 1978), hlm. 16-17.

[23] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat …., hlm. 272.

[24] Ibid, hlm. 242.

Tinggalkan komentar